Review Oktober 2020 : Covid, Cipta Kerja, dan Politik.
Hari hari berlalu, wabah covid 19 sudah tak menakutkan lagi, betapapun angkanya yang melejit itu kadang melebihi penghasilan harian para buruh.
"Bor, tidak ikut demo?", Seorang teman karib dengan nada mengajak mendatangiku via whatsapp. "Demo?" Mataku coba kubuka lebar, melihat sekeliling kamarku yang sudah berapa hari berantakan. Aku bangkit dari baring membosankanku, yang ditemani beberapa lembar kertas berisi catatan kecil yang banyak, konsep proposal penelitian.
Jam dilayar ponsel menunjukkan pukul 11 malam, diatasnya ada deret bilangan kecil yang tak lain adalah tanggal. 6 Oktober. Oh oktober, betapa sedihnya engkau terawali.
Chat yang tadi tidak kubalas, kubiarkan saja itu menggantung sebagaimana ajakan itu turut menggantung bagai anting yang memberatkan telingaku.
"Ada apa sebenarnya?"
Omnibus law, yang sejauh hari sudah kuketahui asal muasal dan tujuannya. Tapi pertanyaan ku belum pula terjawab, "dimana draft nya? dimana softcopy nya? Apakah aku tidak bisa membacanya?". Biasanya mudah bagiku membaca draf undang - undang, bahkan saat masih dalam bentuk RUU (Rancangan Undang Undang)
Dari stasiun berita yang saya tak ingin aku sebutkan, setelah digetok palu pun, undang - undang itu masih berubah - ubah saja. Halaman bertambah, konon karena spasinya belum rata. Ada ada saja.
Baiklah, drafnya tidak ada. Apa ada alternatif lain? Saya tak ingin berdemo ibarat orang yang diberi lirik dan terserah ia mau menyanyikannya bagaimana. Akhirnya saya temui beberapa alasan mereka untuk turun kejalan.
Rendahnya upah, aturan yang terlalu memberatkan, serta kebebasan investor untuk datang, menjadi kekhawatiran mereka. Mereka tak ingin menjadi budak di tanah sendiri, katanya. Dan mereka tak ingin buruh digaji perhari. Dan beberapa tuntutan yang, tak mungkin semuanya kutulis disini.
"Itu kejam,.." gumamku. Tapi seperti diriku yang biasanya, aku selalu memandang koin dari dua sisinya. Muka dan belakang, baik dan buruknya.
Buruknya telah kuketahui, lalu apa baiknya?
Omnibus Law, "Omnibus" merupakan jenis bus yang sangat besar, sehingga mampu mengangkut banyak orang dalam sekali jalan. Mungkin falsafah itu yang digunakan para peracik UU untuk membuat undang undang itu. Jika difikir, salah satu hal yang menjadi keinginan kita (atau setidaknya keinginan saya) adalah berkurangnya pengangguran. Yah, itu meresahkan. Pengangguran berakibat bermacam. Kemiskinan, rendahnya daya beli, hingga masalah sosial. Itu semua penyebabnya apa? Tepat, rendahnya jumlah lapangan kerja di Indonesia.
Aku berkuliah pada Universitas dengan Akreditasi C. Jurusan? C juga. Seperti kata salah satu dosenku yang harus kuakui benar adanya, akreditasi seperti itu tak memungkinkan alumninya untuk mendaftar PNS. Karena minimum standar adalah, akreditasi B. Beberapa perusahaan swasta pun demikian.
Lalu apa? Menyesal? Aku benci mengatakan itu, jadi mari cari alternatif lain. Apa yang kucari? Apakah ijasah satu satunya? Bukankah ilmu yang bermanfaat adalah intinya? Baik. Salah satunya, pada fisika aku belajar elektronika, yang sedikit membuatku paham mengenai komponen listrik yang kadang menyetrum tanganku saat sembrono memperbaiki televisi. Semester ini bahkan aku sedang mendesain praktik untuk elektronika digital dengan Arduino, proyek yang dijadikan penelitian akhir oleh beberapa mahasiswa universitas bagus. Hey, itu tidak buruk. Aku takkan berkata menyesal.
Mari kembali pada Omnibus Law. Mendapatkan pekerjaan pun belum tentu, untuk apa berkoar menolak undang undang itu? Toh dengan diberlakukannya pula akan menarik banyak investor asing ke Indonesia, bukankah baik untuk meningkatkan lapangan kerja, sehingga tak perlu bersaing terlalu ketat untuk dapat kerja?
Tapi kita bekerja untuk asing? Yah itu resikonya. Toh lagipula pemikiran orang Indonesia rata rata yah begitu begitu saja. Niatnya cuma "mencari" kerja. "Mencari" uang. Coba ubah kata itu dengan "membuat". iya. Kita membuat pekerjaan, mempekerjakan orang, membuat lapangan kerja atas nama kita, membuat uang untuk kita. Bangsa Indonesia, bukan "aseng".
Yang benar saja, mau melamar anak orang pun ditanya, "PNS bukan?" Kalau sudah PNS enak jawabnya. Lah kalau baru berstatus "fresh graduate" dari univ akreditasi C? Sesaknya sampai di hati. Dibawa sepanjang jalan, menghantui sampai mimpi.
Ini kubuat untuk sebuah sudut pandang. Tak untuk menentang atau mendukung siapa siapa. Tapi bernalar itu penting agar tindakan kita baik dan masuk akal. Sebelum demo, coba renungkan apa yang ingin kau demokan. Sebelum kuliah, renungkan apa yang kamu ingin cari. Sebelum bekerja, renungkan apa yang mampu kamu kerjakan. Sebelum menikah, tahu sendirilah.
Kakakku pernah berkata, bahwa dunia ini hanya oleh dua jenis orang berhasil. Pertama yang berbakat, dan kedua adalah yang bekerja keras. Bertahun - tahun aku percaya itu. Hingga ibuku menambahkan satu jenis baru, yakni "yang beruntung".
Kusimpulkan semuanya. Kebijakan pemerintah hanyalah cara dan jalan. Kehidupan kita bergantung pada diri kita sendiri. Kita boleh protes atas landasan kebijakan, namun jangan protes pada pemerintah karena nasib. Sebagai manusia, kewajiban kitalah menjadi pengelola bumi. Lakukan segalanya, latih bakat, bekerja keras, namun jangan lupa berbuat baik. Betapa banyak bakat yang terpendam dan hilang, betapa banyak kerja keras yang tak berarti apa - apa. Pada poin ini, keberuntungan mengambil peran sendiri. Kita tak bisa menggantung hanya pada keberuntungan, tetapi harus diakui, keberuntungan sangat penting adanya. Lalu, bagaimana meningkatkan keberuntungan? Atau setidaknya menambah potensi terjadinya keberuntungan?
Saat kita membantu orang lain, dari hal kecil seperti permen untuk bocah balita, atau desain bagi pembuat pamflet, atau acara ulang tahun untuk teman sejawat, hingga menyisihkan sebagian penghasilan pada kas masjid. Orang - orang itu akan merasa beruntung karena telah terbantu. Setiap perbuatan baik memiliki tempat tersendiri pada hati orang lain, itu karena membuat mereka bahagia. Jika sempat, dan pada cara yang tepat, sebisa mungkin mereka akan membalasmu bagaimanapun caranya. Kamu pun begitu, kan?
Berbuat baiklah. Sebisamu, semampumu. Paling tidak, sesempatmu.
Majene, 13 Oktober 2020


Komentar
Posting Komentar