H&GR 1 : Sintaksis

ImageSource : Gratisan Pinterest

Pada gelap malam, decik tikus merayap diatas jalanan. Setiap kali cahaya lampu kendaraan menyapu jalan, mereka bergegas menepi, seolah bayangan kecilnya tak kuasa menantang silau yang tiba-tiba hadir. Mereka bergerombol dan berjalan dalam hening, dengan keempat kaki kecil, menghilang pada celah-celah gelap saluran parit.

Di tengah deretan bangunan yang rapat, lorong kecil itu menjulur seperti celah rahasia. Dinding-dinding kusam saling merapat, seolah menekan udara hingga terasa berat. Cahaya lampu temaram menggantung seadanya, menyisakan bayangan panjang yang berkejaran di lantai semen lembap. Suara langkah bergema lirih, berpadu dengan aroma masakan yang menyelinap dari celah-celah jendela rumah penduduk. Lorong itu sempit, tapi menyimpan denyut kehidupan yang tak pernah padam.

Aku berjalan diantara celah itu, sesekali menepikan tubuh hingga rapat saat berpapasan dengan manusia lain, yang kadang sedang mabuk. Suara kucing bersahut-sahutan; ada yang mendesah lirih seolah mengadu lapar, ada pula yang melengking, memecah sunyi dengan pertengkaran kecil berebut wilayah. Suara itu berpantul-pantul di dinding beton, membuat lorong terasa lebih panjang dari yang sebenarnya. Aku melangkah perlahan, membiarkan cahaya lampu kuning pucat menuntunku melewati tikungan sempit, hingga bayanganku sendiri terasa asing. Tetes hujan pertama menyentuh rambutku, dinginnya merayap hingga ke kulit kepala. Refleks, segera kutarik bagian atas jaket, menutup kepala seolah membuat atap kecil bagi diriku sendiri. Langkahku kupercepat, dengan nafas terengah jelas yang bergema dari balik jaketku. Di ujung sana, kamar sederhana menunggu, seperti satu-satunya ruang aman setelah melintasi jalanan hidup yang riuh sekaligus sunyi.

Namaku Jaka, Mahasiswa jurusan DKV salah satu kampus negeri. Aku berasal dari tempat yang cukup jauh, dan keluarga yang sangat payah. Aku hanya bisa menyewa bagian rumah orang lain, itupun terkadang menunggak beberapa bulan, karena uang bulananku tak cukup untuk menyewa kos yang layak. Aku bahkan menggunakan kendaraan umum karena tidak memiliki kendaraan sendiri, atau terkadang berjalan kaki jika uang sakuku sudah habis.

Begitu pintu kamar kayu itu ku dorong, aroma lembap bercampur sisa wangi sabun cucian menyambut. Bukan kosan, melainkan sebuah bilik sederhana di bagian belakang rumah orang. Ruang yang kusewa, sempit tapi jadi semesta kecilku. Dindingnya polos, hanya ditemani coretan ide-ide di kertas bekas yang menempel seadanya. Aku mahasiswa DKV, ironisnya tanpa laptop untuk menggambar, tanpa kendaraan untuk bepergian. Hanya tubuh lelah dan kepala penuh imajinasi yang kubawa pulang setiap hari. Kamar ini mungkin bukan milik sendiri, tapi di sinilah setiap kegelisahan dan mimpi mencari tempatnya untuk bertahan.

Di luar kamar, aku bagian dari keluarga besar. Tujuh bersaudara, ibu sudah lama tiada, bapak sibuk berteman dengan botol, lalu menikah lagi entah ke berapa kali. Aku anak terakhir, yang katanya paling manja, tapi faktanya justru jadi penonton setia drama keluarga tanpa tiket masuk. Hidupku persis komik strip murahan: penuh satire, sedikit tragis, tapi kalau dibaca ulang bikin ngakak sendiri. Kadang aku berpikir, mungkin Tuhan sedang bercanda, dan aku cuma tokoh figuran yang belajar tertawa di tengah plot twist tak ada habisnya.

Tampaknya tugasku cukup banyak, namun tubuhku terlalu lelah setelah 8 jam bekerja di sebuah rumah makan, untuk upah Rp 25.000,-. Tak banyak, namun setidaknya cukup untuk membeli sabun cuci, dan beberapa gorengan untuk dijadikan lauk selain kuaci. 

Malam itu aku hanya membawa pulang beberapa gorengan, sekadar teman untuk sepiring nasi. Ada kalanya pun tak ada nasi, hanya gorengan dingin yang menunggu di atas meja. Dan jika benar-benar tak ada apa-apa, aku menyalakan sebatang rokok, membiarkan asapnya memenuhi dada, seolah bisa menambal perut yang kosong. Uang bulanan ku tak sampai sejuta, itupun jika kakakku punya sisihan yang dapat ia kirim. Setelah bayar kosan, kadang sisanya hanya dua ratus hingga tiga ratus ribu rupiah, yang harus aku 'kelola' dengan baik hingga transferan selanjutnya, karena bahkan dengan jumlah segitu, tidak konsisten masuknya setiap waktu.

Aku sebenarnya ingin mengurus beasiswa, namun status ayahku yang PNS itu membebaniku untuk mengajukan dokumen. Aku sampai pernah minta dikeluarkan dari tanggungan, namun ia enggan, digantinya dengan janji untuk membayar kuliahku. Janji yang tidak pernah ia tepati.

Aku tidak lagi bertanya mengapa harus begini. Hidup memang berjalan dengan caranya sendiri, meninggalkan aku pada keadaan yang sederhana-antara lapar dan kenyang, antara ada dan tiada. Dalam diam, aku hanya belajar menerima, bahwa begini pun tetap harus dilalui. Kendati tubuh kurus, rambut rontok, dan mata melotot setiap hari.

Sebagai mahasiswa DKV, tugasku sering lahir dari selembar kertas. Pensil, penggaris, spidol seadanya. Itulah 'studio' kecilku. Ide-ide yang harusnya lahir di layar laptop, kupaksa tumbuh di kertas putih. Setelah itu, barulah aku berangkat ke warnet, mencanangkan semua coretan menjadi desain digital. Bukan karena tak mampu, tapi karena memang tak punya fasilitas.

Anehnya, aku tetap bisa. Tugasku selalu selesai, bahkan kadang lebih rapi daripada mereka yang bergelimang teknologi. Hanya saja, hari ini bahkan kertas itu tak berguna. Lampu tiba-tiba padam. Gelap menelan meja kecilku. Aku menatap kosong, menunggu cahaya yang tak kunjung datang. 

Saat akhirnya kusadari tak ada yang bisa kulanjutkan, aku berbaring di kasur tua yang kapuknya sudah lama kempos, tak lagi empuk, hanya sekadar alas tubuh. Tanganku meraih ponsel, layar retak yang masih setia menemani, lalu kucek sisa baterai yang tinggal sedikit. Aku putar musik pelan, biar sunyi kamar tak terlalu menekan. Cahaya redup dari layar itu menjadi satu-satunya teman dalam gelap. Perlahan, mataku berat, pikiranku larut, dan aku pun tertidur.

Di sekelilingku, kertas-kertas bergambar berserakan, sebagian masih basah oleh tinta yang tumpah tak sengaja. Bekas gorengan dan kuaci tergeletak di sudut meja, meninggalkan remah-remah yang diam dalam senyap. Dinding kamar memperlihatkan retakan kecil, seperti garis wajah tua yang lama menyimpan cerita. Dari wastafel, keran rembes menetes perlahan, iramanya pelan, seakan jadi lagu pengantar tidur. Dari kejauhan terdengar musik dangdut murahan yang diputar keras, bercampur dengan suara emak-emak marah-marah pada anaknya yang pulang terlalu malam. Seekor kucing mengeong panjang, bersahutan dengan yang lain di atap seng. Suara motor lewat, knalpotnya meraung, menembus lorong-lorong sempit. Semua gaduh itu bercampur jadi satu, bagai orkestra riuh yang tak kenal sepi.

**

Aku terbangun dini hari. Gang sempit di luar kamar masih gelap dan dingin. Tanganku meraih ponsel untuk mengecek jam, tapi layar retak itu sudah mati, kehabisan daya. Saat itulah aku sadar lampu sudah menyala kembali. Bergegas kucolokkan charger, seakan takut kehilangan kesempatan kecil yang ada.

Perutku perih, rasa lapar bercampur dengan maag yang mulai kambuh. Aku duduk di tepi kasur, menatap meja berantakan yang masih menyisakan gorengan dari sore tadi. Tak ada pilihan lain. Kuambil nasi yang hampir basi, kuaduk bersama gorengan dingin yang keras. Suapan demi suapan terasa getir, tapi justru itulah yang menenangkan: bahwa masih ada sesuatu yang bisa mengisi perut kosong ini. Dalam hening dini hari, aku hanya bisa menelan perlahan, bersambut dengan tegukan air mineral gelas kemasan sisa kemarin.

Sambil mengunyah sisa nasi dan gorengan dingin, mataku terarah ke jendela. Dari celah kaca buram itu, terlihat gang sempit yang basah sisa hujan. Lampu jalan temaram, melemparkan bayangan panjang pada tubuh seorang perempuan yang tergeletak di pinggir gang. Sepertinya ia baru saja mabuk; mungkin wanita malam, atau LC yang sempat pulang terlambat, lalu kalah oleh lelah dan botol kosong. Rambutnya kusut, baju miring tak teratur, napasnya berat, tapi ia tetap tertidur di sana, bersandar pada tempat sampah tanpa peduli pada siapa pun yang lewat.

Pemandangan itu membuat gang terasa lebih sunyi, meski sesekali ada suara motor yang melintas pelan. Aku hanya menatap sebentar, lalu kembali pada piringku. Malam terus berjalan, dengan segala kisahnya yang berserakan di luar sana.

Setelah perut sedikit terisi oleh nasi dan gorengan dingin, aku tak langsung rebah lagi. Ada cucian semalam yang belum sempat kuselesaikan. Dengan tangan masih basah oleh sisa sabun, kuusap kain-kain itu, menekannya hingga bersih sebisanya. Udara dini hari yang dingin menusuk kulit, tapi entah kenapa terasa lebih jujur daripada kehangatan semu yang kadang kucari.

Begitu selesai, subuh berkumandang dan kuangkat jemuran. Syukurnya semalam hujan, jadi tali jemur masih lenggang, kosong, menunggu beban pakaian yang baru kutiriskan. Satu per satu kutata, hingga bau sabun pelan-pelan bercampur dengan aroma tanah basah yang masih tertinggal di udara.

Saat cahaya pagi mulai merayap perlahan, aku bergegas kembali ke kamar. Kupilih pakaian seadanya untuk kuliah hari ini. Sepatu yang berdebu dan bekas lumpur kering itu kusikat sebentar, buku-buku kususun kedalam tas, tak lupa dengan desain konsep yang belum jadi semalam.

Tampaknya kendaraan belum banyak, jadi sembari berjalan, kunikmati hembusan angin yang menyibakkan rambut ku ke belakang di pagi hari. Sembari berbisik dalam hati: 

"semoga hari ini cukup baik untuk dilewati."


Komentar

Postingan Populer