Kapasitor & Resistor

 


Ini adalah kisah dua orang sahabat karib yang berjuang dengan ego dan kelemahannya masing-masing. Fikar adalah orang yang selalu memiliki rencana. Hidup baginya tak lain adalah rangkaian rumit, tempat arus-arus liar perlu dikendalikan agar tak menghanguskan segalanya. Ia mengatur, menahan, mengingatkan, bahkan tak jarang memaksa. Baginya itu adalah cara menunjukkan peduli.

Sadir berbeda. Ia tak suka banyak aturan. Baginya, hidup bukanlah soal skema, melainkan soal perasaan. Ia memilih diam ketika fikar mulai mengomel, menampung segala bentuk kata-kata, kritik, semua aturan, sembari tersenyum tipis. Tapi perlahan dalam dadanya, ada sesuatu yang penuh dan sesak.

Dari awal kuliah, Fikar tak pernah berhenti jadi resistor dalam segala aspek hidup Sadir. Mengatur ini, melarang itu. Mengingatkan tugas, menuntut ambisi. Sementara Sadir, layaknya kapasitor, terus menyimpan semua. Enggan membalas, tak ingin memperkeruh.

"Saya hanya ingin kita lebih baik, kita semua bisa sukses." begitu kata Fikar setiap kali Sadir - dan teman sepantaran lainnya - mulai menunda tugas atau malas kuliah. Fikar seringkali menunjukkan orkestrasi semangat, yang entah pendengarnya sukai atau tidak. Kendatipun jauh di lubuk hatinya sendiri, ia pun dihantui keraguan dan kebimbangan.

Akan tetapi, semakin sering Fikar berbicara, Sadir merasa semakin jenuh. Ia muak, namun tak pernah mengungkapkannya. Ia selalu berpikir "Biar saja. Aku bisa hadapi sendiri dengan caraku sendiri."

Waktu terus berlalu. Pada masa masa pengerjaan skripsi, Fikar menyadari bahwa Sadir telah benar benar menghilang dari jangkauannya. Ia kehilangan Sadir yang seringkali meminta bantuan, meminta petunjuk dan arahan. Ia kehilangan Sadir yang menunjukkan sisi butuh, menjadi Sadir yang mulai benar benar telah 'meledak' dan mulai mengarungi segalanya sendiri tanpa perlu lagi mendengar nasihat atau ocehan orang lain, terutama Fikar itu sendiri.

Pada akhirnya, walau agak terlambat, Fikar berhasil menyelesaikan studinya. Sadir masih menghilang. Satu semester, dua semester, hingga akhirnya ia benar benar berpaling dan tidak menyelesaikan studinya. 

Saat kabar itu sampai kepada Fikar, ia terdiam lama.

Di kamar kecilnya malam itu, ia merenung, memandang dinding yang kosong. Ia merasa seperti resistor yang menang, berhasil menahan segala arus. Tapi kenapa hatinya kosong?

Ia pun teringat sesuatu, tentang kelas-kelas Fisika yang menjadi disiplin ilmunya bersama Sadir. 

Dalam rangkaian listrik, resistor hanya menahan. Tapi tegangan yang tertahan itu tetap mengalir ke kapasitor. Dan kapasitor? Ia menyimpan, terus menyimpan, hingga penuh dan meledak jika tidak pernah dilepaskan. 

Fikar sadar, selama ini ia terlalu sibuk mengatur Sadir. Terlalu sibuk menjadi resistor yang mengendalikan, tanpa pernah bertanya: "Apakah kamu lelah? Apa kamu baik-baik saja?".

Di sisi lain, Sadir sesekali duduk sendirian di kampung dan rantauan. Menatap langit malam yang kosong. Ia menyesal. Semua yang ia pendam sendiri, rasa muak, kecewa, ketidak mampuan, ia telan sendirian. Ia tak pernah mau jujur kepada Fikar, tak pernah mau menerima bahwa mungkin, sebagian dari tegangan hidup itu bisa dialirkan, bukan dipendam.

Mereka sama-sama terpuruk, kalah dalam cara yang berbeda.

Fikar yang menyesal terlalu banyak membelenggu Sadir dalam aturan, dan Sadir menyesal terlalu banyak menahan diri dalam diam.

Andai sejak awal mereka tahu: resistor dan kapasitor perlu keseimbangan. Kadang perlu mengatur, kadang perlu mendengar. Kadang perlu menahan, kadang perlu melepaskan. 


Kini, jarak dan waktu jadi saksi dua sahabat yang belajar memahami, sayangnya, setelah segalanya terlambat. Bagaimanapun, kini keduanya berada pada jalannya masing-masing. Menanggung penyesalan dan kekalahan sendiri serta memaknai dan merangkai cerita yang baru lagi. Hidup lebih luas dari sekedar rasa sayang, benci, harapan, dan sesal itu sendiri. Apapun yang terjadi, hidup tetaplah seperti itu: harus tetap berjalan.


Muhammad Zulfikar, 
17 Maret 2025

Komentar

Postingan Populer