My Perspective : Pendidikan

 



Kelas 11 SMA, adalah masa dimana saya pertama kali merasakan kurikulum 2013. Posisi geografis sekolah yang berada di pelosok menyebabkan kami tidak cepat tergapai oleh perkembangan kurikulum pada saat itu, diluar masalah jumlah pendidik yang masih dibawah standar. Jangankan membahas rasio guru, untuk beberapa mata pelajaran terkadang kosong pada saat saat tertentu.

Saya adalah salah satu anak bangsa yang sedang dan masih mengenyam bangku pendidikan. Tidak akan ada salahnya saya berbagi hasil pengamatan saya dengan perspektif saya sendiri, kan? 

Tahun 2015, saya menginjak bangku SMA. Segalanya menjadi terasa begitu berbeda dibanding apa yang saya dapatkan pada saat SD dan SMP. Terlepas dari faktor luar yang mungkin mempengaruhi saya dalam belajar, mungkin saja beberapa faktor berikut juga turut dirasakan oleh peserta didik saat ini yang seumuran saya kala itu.

Pada saat SD, saya sangat cepat menerima dan mengelola berbagai informasi yang disampaikan guru kepada saya. Begitu pula pada saat saya berada pada bangku SMP. Padahal buku buku pegangan saya pada saat itu masih berbasis kurikulum 2006 (sebagian bahkan 2004 dan 1994!) yang notabene materinya singkat-singkat dan padat. Saya merasakan betul betapa sederhana materi yang disampaikan oleh guru, selebihnya -(itupun jika saya ingin)- jika saya ingin mencari tahu lebih banyak tentang suatu materi, saya bebas memperkaya literasi di kepala saya dengan berkunjung ke perpustakaan, melahap buku buku yang berkaitan dengan topik tertentu.

Saya beri contoh, pada saat usia SD kelas 6, saya jatuh cinta pada ilmu geografi. Awal awalnya saya begitu menyukai peta dunia dan mulai menggambarnya pada buku buku pelajaran saya (bahkan saya menggambar pulau sulawesi saat menggambar bebas). Saat itu ayah saya membawakan saya sebuah globe bekas, yang selain saya jadikan bola, terkadang pula melihat dan membaca permukaannya yang penuh dengan tulisan dan titik titik itu. 

Globe itu sudah lama, dan tampak sebuah negara yang luas wilayahnya sangat besar. Union of Soviet Socialist Republic, atau orang Indonesia lebih sering menyebutnya Uni Soviet. Itu menjadi semacam benih - benih yang tertanam secara tidak sadar pada kepala saya. Apa itu Sosialis? Selain itu pada saat saya SMP, globe yang ada pada meja guru tidak sama dengan yang ada dirumah. USSR menghilang, dan sebagian besar wilayahnya berubah menjadi Russia. Sisanya adalah negara - negara kecil yang bentuknya masih tergambar luas wilayah Soviet. Saya menjadi penasaran lagi, apa yang terjadi dengan negara itu sehingga terpecah - pecah?.

Perpustakaan SMP yang terus terbuka hingga sore, menjadi tempat saya untuk menuntaskan seluruh rasa ingin tahu yang terus bermunculan. Dampaknya begitu banyak. Saya mencari sejarah Soviet hingga ke akar - akarnya. Saya mencari pula buku - buku yang menjelaskan apa itu faham sosialisme. 

Disinilah saya merasakan gairah belajar. Saya akhirnya tahu bahwa kita akan mempelajari sesuatu dengan baik ketika kita penasaran dengannya. Disaat saya mencari Sejarah Soviet, saya turut pula menemukan sejarah kerajaan - kerajaan di Eropa dan Asia. Ketika saya mencari arti sosialisme, saya turut pula bertemu dengan ideologi Liberalisme dan Komunisme, serta faham lain yang turut bermunculan. Akhirnya segalanya itu membawa saya pada petualangan waktu yang panjang, dan segalanya terjadi pada perpustakaan itu.

Buku - buku ensiklopedi seperti SETS (Science, Environment, Technology and Society) yang sudah berdebu karena tak pernah terbaca, turut saya lahap pula walau sebagian istilahnya baru saya mengerti kemudian hari. Saya ingat betul buku itu ada 5 seri dan semuanya menjadi pondasi bawah sadar yang tertanam didalam kepalaku hingga saat ini, dan saya harap saya tidak akan melupakannya walau saya menyimpan beberapa seri.

Yap, saya mempelajari sejarah peradaban manusia seperti peradaban tua Babilonia, Mesir Kuno. Kerajaan-kerajaan hebat yang telah hilang seperti Romawi, Dinasti Qin, dan sejarah terkenal Mongolia, bangsa penakluk yang hebat. 

Semua itu saya lakukan tanpa beban sama sekali. Murni akibat rasa ingin tahu semata. Walau mungkin materi - materi itu belum diajarkan pada anak seusia saya pada saat itu, bahkan tidak ada dalam kurikulum. Sayangnya, buku - buku di perpustakaan itu terbatas, sehingga mengharuskan saya bersabar saat mencari sesuatu yang penjelasannya belum tersedia. 

Memasuki masa SMA, saya diharuskan memilih jurusan. Itu sungguh berat, kawan. Berfokus pada satu rumpun disiplin ilmu sahaja akan membunuhku. saya menyukai Biologi, namun selalu merasa bodoh saat pelajaran hitungan seperti Matematika dan Fisika (apalagi matematika peminatan). Akan tetapi beban mental saya terlalu tinggi. Orang tua ingin saya  mengambil IPA, dan selain itu orang - orang (dan saya pula) gengsi ketika ingin mengambil kelas IPS. Akhirnya saya duduk pada kelas IPA, walau buku - buku bacaan saya malah lebih banyak seputar IPS. Saya mengambil kelas lintas minat Ekonomi, dan buku - buku yang sering saya pinjam di perpus adalah Sejarah dan Geografi (kenapa? Entahlah, suka saja).

Rasanya itu sangat unik. IPA sebagai disiplin saya, dan ketika pusing atau ketika ada waktu luang, saya banyak membaca buku IPS. Ibarat anda memiliki satu kekasih namun selingkuh dengan kekasih lainnya. Mau bagaimana lagi? Nasi telah menjadi bubur. Disatu sisi saya bangga berada di kelas IPA, sisi lain saya menyesal tidak lanjut di IPS sahaja. 

Beranjak kelas 2, saya mulai menekuni bidang lain yang (lagi - lagi) tidak berkaitan dengan jurusan saya. Saya tertarik dan mulai belajar tentang beberapa bahasa pemrograman. Ini menyebabkan saya membaca  banyak buku yang berkaitan dengan bahasa pemrograman seperti HTML, CSS, C, C++ bahkan Java. Keinginan saya untuk "mengoprek" sistem android ponsel saya agar lebih "gahar" membuat saya mempelajari itu semua. 

Jika difikir lagi? Apa alasannya? Yah karena ingin tahu saja. Ponsel saya beberapa kali mengalami Bootloop sehingga mengharuskan saya mencari cara untuk memperbaiki segalanya. 

Pada masa itu pula saya jatuh cinta dengan filsafat dan penalaran. Itu membuat saya selalu merasa baik bahkan saat mengalami kegagalan, dan membantu saya membuat ramuan sendiri untuk mengobati patah hati saya (pffft...). Semua itu saya tekuni sekali lagi tanpa beban.

Baik, kembali ke sekolah. Hari - hari saya habiskan hanya untuk sekedar mendengar ceramah didepan, tanpa sedikitpun makna yang "nyangkut" dikepalaku. Saya yakin banyak orang yang begitu, hanya duduk, diam dan menunggu bel pulang. 

Dari sinilah terasa nyata bagiku betapa pendidikan sekolah tidak banyak memberi "isi" terhadap kepalaku. Saya malas ketika dituntut untuk menghafal dan mengetahui sesuatu dan diberi tenggat waktu tertentu untuk "disetor" baik itu dalam wujud hafalan maupun ujian. Saya tidak menuntaskan hafalan ayat suci pada mata pelajaran agama, begitu pula hafalan tabel periodik kimia. Ujian matematika saya hampir selalu remidi, ujian fisika jangan ditanya. Kadang saya baru melengkapi catatan menjelang ujian, yah itu syarat ikut ujian, kawan.

Bukannya malas atau tidak mau tahu, memang perhatiannya bukan kesitu. Sepertinya ini tanda bahwa kurikulum ini gagal menarik minat saya untuk mempelajarinya. Entah ini salah siapa dosa siapa, karena saya yakin orang-orang yang membuat kurikulum adalah orang yang lebih pinter dari saya. 

Akan tetapi kalau boleh mengkritik, kenapa pula buku kurikulum 2013 tebal tebal semua? Yang tadinya semangat baca banyak malah menjadi malas pas tahu bahwa masih sangat banyak yang perlu dibaca. Bukankah lebih baik cukup materi dasar saja, selebihnya bebaskan siswa untuk cari di perpustakaan?. 

Atau mungkin saja memang bakat saya dibidang itu tidak ada? Atau belajar saya dipengaruhi minat? Perlukah kita menyusun kurikulum yang bebas, sehingga saya dan anak-anak lain bebas ingin belajar apa dan bebas memilih materi yang ia sukai? Programming tidak lagi hanya diajarkan pada jurusan multimedia, Fisika dapat dipelajari oleh anak IPS jika berminat. Ketika mengambil jurusan Fisika pada perguruan tinggi, saya bebas memilih mata kuliah yang ingin saya ambil dan bebas untuk tidak mengambil mata kuliah lain, tanpa dibayang bayangi dengan aturan minimum sks untuk kelulusan. Akan lebih baik lagi jika saya diberi kebebasan dan kesempatan untuk mengambil mata kuliah dari disiplin ilmu lain untuk saya kembangkan dan mendapat nilai juga dari situ. Dengan begitu ada nilai jual saya ketika ingin terjun ke dunia kerja, atau bahkan menciptakan dunia kerja saya sendiri.

Menurut saya, kurikulum kita terlalu mengekang. Jika anda memilih suatu jurusan, maka anda harus disiplin belajar jurusan itu hingga lulus atau selesai. Padahal tidak semua orang mampu demikian. Kita dapat menemukan dengan mudah betapa jenuhnya mahasiswa semester 5 dengan jurusannya. Jurusan apapun itu, bosan, pusing, dan malas sangatlah melanda. Semua itu bukan karena malas belajar, akan tetapi kadang kita perlu mempelajari atau menambah wawasan kita dengan "kuliner" lain yang agak berbeda dengan apa yang kita konsumsi sehari hari. Ya, mencoba hal baru, me-refresh otak dan cara pandang kita. Mencoba hal baru diluar kebiasaan kita yang membosankan.

Tetapi apapun itu. Saat ini saya berkuliah di jurusan Fisika. Dan terjadi lagi, semuanya ku ulang kembali. Tidak minat belajar, nilai pas pasan, dan selingkuhan dimana-mana. 

Selasa, 20 Oktober 2020.

Komentar

Postingan Populer